BELUM lama ini, saat berbincang dengan Alwi Shahab, penulis kolom Sejarah Jakarta di harian Republika, tiba-tiba beliau menyebut tentang solidaritas kaum Muslimin di Indonesia pada masa lalu. Pernah suatu ketika terdengar berita tentang penindasan dan pembunuhan yang dialami masyarakat Muslim di sebuah negara di Afrika Utara. Tak lama kemudian, di sebuah Masjid besar di Jakarta diadakan kegiatan untuk menunjukkan rasa prihatin dan solidaritas atas apa yang telah terjadi di sana. Ketika itu yang diminta untuk memberikan ceramah adalah seorang habib yang cukup terkenal di Jakarta.
“Padahal pada masa itu komunikasi dan informasi tidak cepat seperti sekarang,” tutur beliau, “tetapi berita itu sampai kepada Muslimin di Indonesia dan mereka menunjukkan perhatian terhadap nasib saudaranya di negeri yang lain.”
Ternyata sikap dan solidaritas terhadap keadaan umat di negeri-negeri yang berjauhan bukan sebuah fenomena baru di tanah air. Dan hal itu tidak perlu dibenturkan dengan rasa cinta terhadap tanah air.
Fenomena semacam ini juga dapat kita lihat di Indonesia pada masa sekarang ini. Aksi-aksi solidaritas sering dilakukan oleh kaum Muslimin di Indonesia, terutama berkaitan dengan isu Palestina dan kezaliman Zionis-Israel. Kadang ada yang mempertanyakan, bahkan menuduh, mereka yang terlibat aksi solidaritas ini sebagai orang-orang yang lebih memperhatikan manusia di negeri lain dibandingkan nasib saudara sebangsanya sendiri. Padahal kenyataannya belum tentu seperti itu.
Tak lama setelah bertemu dengan Alwi Shahab, kebetulan saya membaca beberapa buah majalah lama, di antaranya Majalah Berita Nahdlatoel ‘Oelama’. Redaktur majalah ini adalah KH Hasyim Asy’ari dari Tebuireng, Jombang, KH Abdulwahab Chasboellah, dan KH Bisri. Pada edisi No. 3, Th. 9, tanggal 1 Desember 1939, ada sebuah artikel menarik yang ditulis oleh Ch. M. Dachlan. Judulnya “Moesibah Kaoem Moeslimin”.
Artikel itu membahas tentang musibah yang menimpa kaum Muslimin di Sudan. Merujuk pada sebuah berita dari media di Mesir, disebutkan bahwa rakyat Sudan yang Muslim dipaksa oleh penjajah Inggris untuk menerima pelajaran-pelajaran Kristen dan masuk ke gereja-gereja Italia.
Sultan Isa Ahmad Pertak, pemimpin kabilah Maroedi di Sudan, mengirim telegram protes kepada pemimpin Inggris di Sudan. Ia ingin kabilahnya memiliki sekolah sendiri berdasarkan al-Qur’an, bahasa Arab, dan kurikulum yang sejalan dengan Islam. Namun bukannya disetujui, pemerintah Inggris justru menangkap sang sultan.
“Kalau chabar … itoe soenggoeh benar,” tulis artikel tadi, “maka hendaklah itoe mendapat perhatian dari kita oem. Islam [umat Islam, pen.] di Indonesia ini sebagai djoega apa jang terjadi disini jang meloekai Islam haroes mendapat perhatiannja segenap oem. Islam sedoenia.” Karena “boekan sadja itoe meloekai perasaan kaoem Moeslimin di Sudan, akan tetapi dalam chaqeqatnja menampar moekanja oemat Islam sedoenia, mendjadi djoega meloekai hati kita kaoem Moeslimin di Indonesia ….”
Penulis artikel tersebut bukan hanya meminta perhatian umat Islam atas apa yang terjadi di Sudan ketika itu.Tetapi pada akhir artikelnya ia juga menyeru kepada perkumpulan-perkumpulan Islam, terutama Majelis Islam A’la Indonesia (MIAI), agar berusaha “meringankan hal jang … diderita oleh saudara2 kita seigama diloear negeri itoe.”
Dengan kata lain, perkumpulan-perkumpulan Islam di tanah air didorong untuk melakukan aksi nyata demi membantu kaum Muslimin yang sedang mengalami musibah di negeri lain. Hal itu karena pada hakikatnya kaum Muslimin adalah bersaudara. Mereka seperti satu tubuh, sebagaimana yang disebutkan dalam sebuah hadits.
Bukan hanya tentang solidaritas terhadap Muslim di negeri lain, artikel itu juga berbicara tentang toleransi beragama. Sikap penjajah di Sudan yang tidak toleran terhadap umat Islam dipertanyakan oleh penulis artikel, padahal mereka berada “dalam abad jang katanja soedah djaoeh tinggi kesopanannja ini ….”
Hal itu sungguh berbeda keadaannya dengan apa yang ditunjukkan oleh umat Islam selama berabad-abad sejarahnya. Mereka mempersilahkan umat berbagai agama untuk hidup tanpa diganggu di negeri-negeri mereka.
Pernah ada seorang pemimpin Muslim yang berkeinginan untuk memaksa warganya masuk Islam, tetapi ulama mencegah dan mengingatkannya bahwa hal itu bertentangan dengan ajaran Islam. Karena itu tidak berlaku pemaksaan terhadap penganut agama lain untuk masuk ke dalam Islam. Secara umum, umat Islam selalu toleran dan bermurah hati terhadap penganut agama lain di negeri mereka.
“Akan tetapi ketentoean2 dan kemoerahan sematjam itoe, sering kali … tidak diindahkan dan dilanggar oleh pihak lain Islam,” tulis artikel itu lagi,“seakan-akan merasa berat kalau dalam daerahnja itoe ada orang beragama Islam, sajang!!!”
Entah mengapa, saat membaca kutipan yang terakhir di atas, pikiran saya melayang pada apa yang baru-baru ini terjadi di Bali. Masih hangat di dalam ingatan kita berita-berita yang menyebutkan tentang pelarangan jilbab terhadap para siswi di sekolah-sekolah serta terhadap para karyawan di sebuah pusat perbelanjaan.Alasannya, Islam adalah minoritas dan agama pendatang di pulau itu.
Kata-kata yang tertuang di dalam Berita Nahdlatoel ‘Oelama’ itu seperti tak mau hilang dari dalam pikiran. Kali ini musibah kaum Muslimin tidak terjadi di sebuah negeri yang jauh, melainkan di dalam negeri ini sendiri, negeri yang mayoritas penduduknya Muslim. Seolah-olah toleransi dan kemurahan hati itu hanyalah bagi umat-umat lainnya di dunia, dan bukannya bagi umat Islam. Wallahu a’lam.*/Jakarta, 2 Dzul Qa’dah 1435/ 28 Agustus 2014
Penulis adalah ahli sejarah, penulis buku “Nuruddin Zanki dan Perang Salib” dan“Shalahuddin Al Ayyubi dan Perang Salib III”. Tulisan ini sudah pernah dipublikasikan dalam Bulletin Busyra milik Rabithah Alawiyah
Rep: Administrator
Editor: Cholis Akbar
http://www.hidayatullah.com/kajian/sejarah/read/2014/09/02/28628/nu-dan-solidaritas-muslimin-di-indonesia.html#.VH6uBtLoSqg
0 komentar :
Posting Komentar